Google info dan internet online

Wednesday 10 July 2013

Hal-Hal Yang Membatalkan Dan Merusak Puasa : Hubungan Badan (Jima'), Keluarnya Mani postheadericon

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : HUBUNGAN BADAN (JIMA'), KELUARNYA MANI


Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 1
HUBUNGAN BADAN (JIMA')

Jika orang yang berpuasa melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan dia harus bertaubat dan memohon ampunan sekaligus mengqadha' puasa pada hari di mana dia melakukan hubungan badan. Selain mengqadha', dia juga wajib membayar kaffarat, yaitu memerdekakan seorang budak. Jika dia tidak dapat memerdekakan budak, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu juga untuk menjalankan puasa selama dua bulan berturut-turut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu mudd gandum jenis yang bagus, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, beratnya adalah 562 1/2gram, karena satu sha' sebanding dengan berat 2 1/4kg atau selain gandum, yang biasa dijadikan makanan pokok.

Puasa dua bulan berturut-turut tidak bisa digantikan kepada pemberian makan, kecuali jika dia benar-benar tidak mampu menjalankan puasa tersebut karena halangan yang dibenarkan, misalnya jika dia menderita suatu penyakit atau dikhawatirkan munculnya penyakit padanya jika dia menjalankan puasa tersebut. Adapun orang yang merasa keberatan karena amalan puasa, maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan baginya untuk pindah kepada pemberian makan kepada orang miskin.

Puasa dua bulan tersebut harus dikerjakan dengan berturut-turut dan tidak boleh terputus, kecuali jika ada halangan yang dibenarkan oleh agama, seperti adanya hari raya Idul Fithri atau Idul Adhha, hari-hari Tasyriq, waktu haidh dan nifas bagi wanita, serta sakit dan safar yang tidak di sengaja untuk meninggalkan puasa dua bulan berturut-turut.

Dan jika dia berbuka tanpa alasan yang dibenarkan meski hanya satu hari saja, maka dia harus memulai lagi puasa dua bulan itu dari awal sehingga benar-benar ada kesinambungan.

Dalil yang mengharuskan kaffarat itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Ketika kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, celaka aku.' '‘Apa yang telah membuatmu celaka?' tanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia menjawab: 'Aku telah mencampuri isteriku sedang aku dalam keadaan berpuasa. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: 'Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak dan kemudian memerdekakannya?' '‘Tidak, 'jawabnya. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab: 'Tidak.'Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Dan apakah engkau memiliki bekal untuk memberi makan kepada enam puluh orang miskin?' Dia pun menjawab: 'Tidak. 'Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun terdiam. Dan ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dengan membawa kantong yang berisi kurma, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Di mana orang yang bertanya tadi?' Orang itu menjawab: 'Aku.' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Ambil dan bershadaqahlah dengan kurma ini.' Kemudian orang itu berkata: 'Adakah orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua lembah ini keluarga yang lebih miskin dari keluargaku?' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: 'Beri makanlah keluargamu dengannya....'"[1]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: "(Masalah), ada yang mengatakan, 'Barangsiapa mencampuri isterinya pada kemaluannya, baik mengeluarkan sperma maupun tidak mengeluarkan sperma atau mencampurinya tidak pada kemaluannya lalu dia mengeluarkan sperma dengan sengaja atau lupa, maka dia harus membayar qadha' dan kaffarat, jika (dilakukan) pada bulan Ramadhan.'

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa orang yang mencampuri isterinya pada bagian kemaluan, baik keluar sperma maupun tidak keluar atau bukan pada bagian kemaluan lalu dia mengeluarkan sperma, maka puasanya telah batal. Dan hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih." [2]

Pembahasan 2
MENGELUARKAN SPERMA DENGAN SENGAJA

Jika orang yang berpuasa mengeluarkan sperma dengan sengaja, baik melalui ciuman, sentuhan, onani, atau pun yang lainnya maka puasanya menjadi rusak, karena hal ini termasuk bagian dari syahwat yang bertentangan dengan puasa, dan dia wajib mengqadha'nya saja.

Adapun jika seorang laki-laki mencium atau menyentuh isterinya tanpa mengeluarkan sperma, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Tetapi, jika orang yang berpuasa itu takut dirinya akan mengeluarkan sperma jika mencium atau khawatir ciuman itu nantinya akan mengarah kepada hubungan badan karena ketidakmampuannya untuk menahan gejolak nafsunya, maka dia tidak boleh melakukan ciuman sebagai upaya menghindari sekaligus melindungi puasanya dari hal-hal yang merusaknya.

Sedangkan keluarnya sperma karena mimpi atau fikiran (hayalan) tanpa adanya tindakan fisik, maka hal itu tidak membatalkan puasanya, karena mimpi itu bukan atas keinginannya sedangkan fikiran itu insya Allah dapat dimaafkan. [3]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/29) dan Shahiih Muslim (III/139)).
[2]. Al-Mughni (IV/372), al-Hidaayah (I/122) karya al-Marghinani, Raudhatuth Thaalibin (II/356), Mawaahibul Jaliil (II/433), al-Furuuq (II/92) oleh al-Qurafi.
[3]. Fataawaa wa Rasaa-il Samaahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/190-191).

Makan Dan Minum Sengaja, Yang Semakna Makan Dan Minum postheadericon

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : MAKAN DAN MINUM, HAL-HAL YANG SEMAKNA DENGAN MAKAN DAN MINUM, HIJAMAH

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 3
MAKAN DAN MINUM DENGAN SENGAJA

Yang dimaksud di sini adalah memasukkan makanan atau minuman sampai ke dalam perut melalui mulut maupun hidung, apapun makanan dan minuman yang dikonsumsi tersebut. Hal itu didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam...."[Al-Baqarah: 187]

Dengan demikian, Allah Jalla wa Ala telah membolehkan makan dan minum sampai terbit fajar kedua, dan kemudian diperintahkan untuk menyempurnakan puasa sampai malam. Dan itu berarti meninggalkan makan dan minum selama rentang waktu tersebut, yaitu antara terbit fajar sampai malam hari.

Termasuk di dalamnya sedotan tembakau (hisapan rokok) melalui hidung. Demikian juga memasukkan sesuatu yang jenisnya cair atau beku melalui hidung, mata, atau telinga, dengan syarat jika semuanya itu sampai ke perut. [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "....Sebagaimana diketahui bahwa nash dan ijma' telah menetapkan bahwa puasa itu batal karena makan, minum, hubungan badan, haidh...." [2]

Pembahasan 4
HAL-HAL YANG SEMAKNA DENGAN MAKAN DAN MINUM

Semua hal yang semakna dengan makan dan minum, seperti transfusi darah kepada orang yang berpuasa sehingga dia tidak lagi memerlukan makan dan minum. Demikian juga dengan infus yang menggantikan posisi makan dan minum. Oleh karena itu, jika seseorang ditransfusi darah untuk keadaan darurat, seperti saat terjadi pendarahan atau diberi jarum infus maka dengan demikian, dia sudah tidak berpuasa dan harus mengqadha' puasa hari itu di hari yang lain. Dan dibolehkan juga baginya untuk berbuka (tidak berpuasa) karena keadaan darurat, tetapi dia harus mengqadha'nya, karena apa saja yang membuat puasa menjadi batal, maka hal itu telah menggantikan posisi makan dan minum.

Sedangkan jarum-jarum selain jarum untuk infus maka tidak membatalkan puasa, di bagian tubuh mana pun disuntikkan dan bagaimana pun caranya, selama tidak sampai ke perutnya, sebagai-mana yang telah kami sampaikan sebelumnya.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Yang tampak bagi kami bahwa jarum yang disuntikkan ke pembuluh darah dapat membatalkan puasa, karena adanya zat yang masuk ke dalam tubuh pemakainya. Dan para ahli fiqih rahimahullah telah menilai dengan jelas tentang rusaknya puasa orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui bagian mana pun dari tubuhnya...." [3]

Pembahasan 5
HIJAMAH (BEKAM)

Hijamah atau bekam berarti penyedotan (darah) dengan membuat irisan kecil pada permukaan kulit secara sengaja untuk mengeluarkan darah dari tubuh melalui pembuluh darah (yang dilukai). Oleh karena itu, jika proses pengeluaran darah dari (tubuh) orang yang berpuasa itu dilakukan melalui pembekaman atau dikeluarkan untuk donor darah guna menyelamatkan orang sakit yang membutuhkan darah, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Dasar pijakan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Syaddad bin Aus, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Puasa orang yang membekam dan yang dibekam itu telah rusak (batal)." [4]

Dan banyak hadits telah disebutkan yang maknanya mengarah kepada pembatalan puasa karena hijamah (bekam). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dibolehkan bagi orang yang berpuasa wajib untuk melakukan donor darah, kecuali dalam keadaan benar-benar darurat, dengan syarat hal tersebut tidak membahayakan diri pendonor. Dan jika melakukan maka puasanya pada hari itu batal dan dia harus mengqadha'nya. [5]

Sedangkan keluarnya darah tanpa sengaja dari orang yang berpuasa, seperti mimisan, atau darah yang keluar karena luka atau gigi yang lepas, dan lain sebagainya yang tidak mempengaruhi puasa seseorang, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena hal tersebut tidak berarti bekam. Kemudian orang yang berpuasa dimaafkan dalam keadaan ini, karena ia memang benar-benar dalam kondisi tersebut (yang memang bukan menjadi pilihannya,-ed).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "....Telah kami jelaskan bahwa penilaian batalnya puasa karena bekaman itu telah sesuai dengan ushul dan qiyas. Dan hal itu sejenis dengan darah haidh, muntah dengan sengaja, dan onani. Jika demikian adanya, maka dengan cara bagaimana pun dia ingin mengeluarkan darah, berarti dia telah berbuka...." [6]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Fataawaa wa Rasaa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/189).
[2]. Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab (VI/313), Kasysful Qinaa' (II/317).
[3]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/244).
[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 16489) tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (no. 2369), an-Nasa-i (dalam al-Kubra no. 3144), Ibnu Majah (no. 1681), Ibnu Khuzaimah (no. 1964) dan Ibnu Hibban (no. 3533), keduanya telah menshahihkan hadits ini. Juga dishahihkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ali bin al-Madini. Lihat kitab Fat-hul Baari (IV/175), Nailul Authaar (IV/201).
[5]. Ibnu Qasim rahimahullah mengatakan: "....Dan tidak batal puasanya, kecuali dengan syarat dalam melakukannya dia sengaja dan ingat puasanya tetapi dia tetap melakukannya, maka dia harus mengqadha' puasanya, jika puasa yang dikerjakannya adalah wajib." Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi' (III/398).
[6]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/257).

Hukum Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja postheadericon

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA : HUKUM ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA DENGAN SENGAJA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari.

Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:
1. Hubungan badan (jima').
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 8
HUKUM ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA DENGAN SENGAJA

Barangsiapa membatalkan puasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan syari'at, maka dia telah melakukan kesalahan atas hak dirinya sendiri dan juga hak masyarakatnya. Dan jika Anda, saudaraku, ingin mengetahui tingkat pengharaman dan tingkat dosa orang yang merusak kesucian bulan Ramadhan dengan membatalkan puasanya, baik dengan cara makan, minum atau berhubungan badan, maka renungkanlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu secara marfu' :

".... Barangsiapa membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan juga bukan karena sakit, maka dia tidak dapat menggantinya dengan puasa dahr (terus-menerus) meskipun dia melakukannya...." [1]

Dan juga hadits yang diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

"Barangsiapa tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa alasan, maka tidak dibolehkan baginya mengerjakan puasa dahr sehingga dia menemui Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan memberikan ampunan kepadanya dan jika Allah berkehendak, Dia akan mengadzabnya." [2]

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata: 'Naiklah.' Lalu kukatakan: 'Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya.' Selanjutnya, keduanya berkata: 'Kami akan memudahkan untukmu.' Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung tiba-tiba ada suara yang keras sekali, maka kutanyakan: 'Suara apa itu?' Mereka menjawab: 'Itu adalah jeritan para penghuni Neraka.' Kemudian dia membawaku berjalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.' Aku berkata, 'Siapakah mereka itu?' Dia menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang yang berbuka sebelum waktu berbuka...." [3]

Demikianlah gambaran mengerikan dari adzab yang ditimpakan kepada orang-orang yang merusak kesucian bulan Ramadhan serta meremehkan syi'ar yang suci ini, di mana mereka tidak berpuasa secara terang-terangan pada siang hari di bulan Ramadhan. Mereka akan bergelantungan pada kaki mereka seperti bergelantungannya binatang sembelihan, di mana kaki berada di atas dan kepala berada di bawah. Dan mulut mereka akan dirobek sehingga keluar darah yang mengalir darinya. Keadaan itu merupakan gambaran yang benar-benar mengerikan. Apakah orang-orang zhalim itu mau mengambil pelajaran untuk diri mereka sendiri yang merusak kesucian bulan Ramadhan yang penuh berkah, yang mereka tidak mau menjaga kehormatan waktu dan tidak juga memelihara hak Pencipta mereka? Mereka benar-benar telah merusak rukun keempat dari rukun-rukun Islam tanpa mempedulikan tujuan dari penciptaan mereka sama sekali:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." [Adz-Dzaariyaat: 56]

Para ulama telah menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa alasan (yang dibenarkan), berarti dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah mengatakan, "Dosa besar yang keenam adalah orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa alasan (yang dibenarkan)..." [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Jika orang yang muntah itu diterima alasannya, maka apa yang menimpa dirinya itu tidak dipermasalahkan dan ia seperti halnya orang sakit yang harus mengqadha' puasa. Dia tidak termasuk pelaku dosa besar, (tidak sebagaimana dosa besar dari orang) yang tidak berpuasa tanpa alasan..." [5]

Dan jika seseorang tidak berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa alasan, maka pemerintah wajib memberikan hukuman kepadanya. Hukuman itu bisa dalam bentuk penjara atau cambuk, tetapi hukuman tersebut harus menjadikannya jera sehingga ia tidak mau lagi mengulangi perbuatan itu atau agar perbuatannya tidak diikuti oleh orang lain.

Al-Qaffal mengatakan: ".... Barangsiapa membatalkan puasa pada bulan Ramadhan bukan karena hubungan badan dan tanpa alasan yang benar, maka dia harus mengqadha'nya dan tetap menahan diri selama waktu yang tersisa dari siang itu serta tidak ada kaffarat baginya. Dan penguasa harus menghukumnya, hal itu pula yang dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud..." [6]

Syaikh al-Jaza-iri menukil ungkapan dari Imam adz-Dzahabi: "....Yang telah menjadi ketetapan di kalangan orang-orang mukmin bahwa orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan bukan karena sakit dan tanpa alasan (yang benar) adalah orang yang lebih jahat dari orang yang berzina dan juga lebih buruk dari pecandu khamr, bahkan keislamannya diragukan dan menganggapnya termasuk dari kaum Zindiq dan rusak...." [7]

Orang-orang yang secara terang-terangan memperlihatkan bahwa dirinya tidak berpuasa sedang mereka dalam keadaan sehat wal 'afiat serta tidak memiliki alasan yang membolehkan mereka berbuka, berarti mereka telah kehilangan rasa malu kepada Allah dan rasa takut dari hamba-hamba-Nya. Hati dan akal fikiran mereka telah terpenuhi dengan keingkaran, hati mereka telah dipenuhi dengan godaan dari syaitan dan dosa, dan mereka tidak mengetahui bahwa dengan tidak berpuasa itu mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun Islam. Mereka adalah orang-orang fasik dan kurang iman serta sudah tidak lagi memiliki harga diri. Kaum muslimin melihat mereka dengan sebelah mata sambil menghinakannya. Mereka termasuk para pelaku dosa besar, dan pada hari Kiamat kelak, adzab Rabb Yang Mahaperkasa lagi Mahaberkuasa telah menanti mereka.

Telah diajukan kepada al-Lajnah ad-Da-imah lil Iftaa' (Komite Fatwa) di Saudi Arabia sebuah pertanyaan menyangkut masalah ini:

Pertanyaan: Apakah hukumnya jika seorang muslim melalui bulan Ramadhan dan tidak berpuasa, tetapi ia tetap menjalankan kewajiban yang lain padahal tidak ada satu halangan apapun yang merintanginya? Apakah dia harus mengqadha'nya jika bertaubat?

Jawab: Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam. Dan tindakan seorang mukallaf (orang yang telah terkena beban syari'at), secara sengaja meninggalkan puasa pada bulan Ramadhan adalah termasuk dosa besar yang paling besar. Sebagian ulama bahkan menilainya kufur dan murtad karenanya. Dia wajib bertaubat dengan taubat nashuha serta memperbanyak amal shalih dan juga amalan-amalan sunnah. Selain itu, dia juga harus memelihara syari'at agama, baik itu shalat, puasa, haji, zakat dan yang lainnya. Dan dia tidak berkewajiban mengqadha' puasa. Demikian menurut pendapat ulama yang paling benar, karena kejahatannya itu terlalu besar untuk memaksanya dalam mengqadha'. [8]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari tanpa sanad. Shahiih al-Bukhari dengan syarahnya Fat-hul Baari (IV/161).
[2]. Fat-hul Baari (IV/161).
[3]. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab, al-Kubraa, sebagaimana yang ter-dapat dalam kitab Tuhfatul Asyraaf (IV/166), Ibnu Hibban dalam Mawaariduzh Zham-aan ilaa Zawaa-idi Ibni Hibban (no. 1800) dan al-Hakim (I/430), sanadnya shahih. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 995, I/420).
[4]. Al-Kabaa-ir karya Imam adz-Dzahabi (hal. 49).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/225).
[6]. Hilyatul 'Ulamaa' (III/198).
[7]. Risaalah Ramadhaan (hal. 66).
[8]. Fataawaa Islaamiyyah (II/140).

Memperbaharui Hubungan Seorang Muslim Dengan Kitabullah postheadericon

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : MEMPERBAHARUI HUBUNGAN SEORANG MUSLIM DENGAN KITABULLAH DI BULAN RAMADHAN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 1
MEMPERBAHARUI HUBUNGAN SEORANG MUSLIM DENGAN KITABULLAH DI BULAN RAMADHAN

Al-Qur-an al-Karim turun pada bulan Ramadhan. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mempelajarinya bersama Jibril Alaihissalam pada bulan Ramadhan, dengan mendengar, mentadabburi, dan membacanya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperhatikan nasihat-nasihat dan pelajarannya serta membuka lebar fikiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makna dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya.

Orang berpuasa yang mengikuti contoh dari Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu menyatukan dalam puasanya, antara bulan Ramadhan dan al-Qur-an, karena Ramadhan adalah bulan al-Qur-an:

"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya."

Turunnya al-Qur-an pada bulan Ramadhan merupakan sugesti yang sangat kuat bagi umat ini untuk banyak membaca dan mengkajinya di bulan tersebut, karena pada hakikat dan realitasnya bulan Ramadhan merupakan bulan al-Qur-an.

Betapa indahnya halaqah-halaqah kajian al-Qur-an yang diadakan di masjid-masjid sepanjang bulan tersebut. Kaum muslimin pun berbondong-bondong mendatanginya untuk mencari hidayah, hikmah, dan cahaya di pelataran rumah-rumah Allah Ta'ala. Faktor penyebabnya karena al-Qur-an memiliki rasa yang khusus pada bulan Ramadhan, karena ia akan mengingatkan kenangan saat ia turun dan hari-hari pengkajiannya serta waktu-waktu perhatian kaum Salaf terhadapnya. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya..."

Jika Ramadhan datang, orang-orang Salaf menyibukkan diri dengan mempelajari dan mendalami al-Qur-an lebih intensif dari bulan-bulan lainnya. Sampai-sampai mereka meninggalkan sementara halaqah-halaqah ilmu.
Dari Imam Malik rahimahullah, bahwasanya beliau jika Ramadhan datang, halaqah-halaqah ilmu, kajian dan pemberian fatwa dihentikan. Dan beliau mengatakan, "Ini bulan Ramadhan sehingga kita harus berkonsentrasi dengannya."

Pada bulan Ramadhan dari setiap tahun, hubungan seorang muslim dan Kitabullah (al-Qur-an) selalu mengalami pembaharuan, sehingga Ramadhan akan disambut dengan bacaan, pendalaman, pemahaman, perhatian, pembenaran dan pengamalan al-Qur-an.

Pada hari pembaharuan hubungan kaum muslimin dengan Kitabullah serta pengamalan mereka terhadapnya di segenap aspek kehidupan mereka, dengannya mereka memerangi musuh dan beribadah kepada sang Khaliq. Semua hati yang ada di sekeliling al-Qur-an senantiasa tertuju kepadanya. Dan padanya ilmu pengetahuan berpijak serta darinya pula semua hukum disarikan. Pada hari di mana semuanya itu terealiasasi bagi kaum muslimin, akan terwujud pula bagi mereka kemuliaan, kehormatan, serta kepemimpinan, sebagaimana yang pernah diperoleh orang-orang shalih sebelum mereka.

Pada saat membacanya, al-Qur-an memiliki beberapa adab yang harus dipelihara dan dipegang teguh oleh setiap muslim. Yang terpenting di antaranya adalah:

1. Membaca al-Qur-an dengan niat tulus ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana Dia Ta’ala telah berfirman:

"Padahal mereka tidak diperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...." [Al-Bayyinah: 5]

2. Membaca dengan menghadirkan hati sambil mencermati dan memahami, khusyu', takut dan merasa seakan-akan Allah berbicara langsung kepadanya di dalam al-Qur-an ini.

3. Membaca al-Qur-an dalam keadaan suci (berwudhu' terlebih dahulu), karena yang demikian itu termasuk pengagungan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. Tidak membaca al-Qur-an di tempat-tempat yang kotor atau di tempat-tempat di mana orang-orang yang berkumpul di sana tidak mau mendengar bacaan al-Qur-an, karena bacaan al-Qur-an di tempat-tempat ini sebagai bentuk penghinaan.

5. Membaca dengan lagam dan suara yang indah. Tetapi tidak boleh mengganggu orang lain dalam bacaan ini, seperti ada orang yang sedang tidur di dekatnya atau mengerjakan shalat atau di sampingnya terdapat halaqah ilmu dan lain sebagainya.

Dan masih banyak lagi adab-adab yang harus diperhatikan di setiap saat oleh pembaca al-Qur-an.

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Membaca Dan Mendalami Al-Qur'an Serta Pengaruhnya Dalam Manhaj postheadericon

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : MEMBACA DAN MENDALAMI AL-QUR-AN SERTA PENGARUHNYA DALAM MENGHIDUPKAN MANHAJ [1] YANG LURUS DI DALAM DIRI KAUM MUSLIMIN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 2
MEMBACA DAN MENDALAMI AL-QUR-AN SERTA PENGARUHNYA DALAM MENGHIDUPKAN MANHAJ [1] YANG LURUS DI DALAM DIRI KAUM MUSLIMIN

Setiap kali hilal bulan Ramadhan melintas, maka akan muncul kerinduan umat Islam kepada hari-harinya yang penuh dengan hembusan angin keberkahan, yang merupakan petunjuk dalam pancarannya. Dan itulah kekuatan dari kejernihan pokok dan dasarnya, al-Qur-an al-Karim, yang telah menghamparkan petunjuk, penerang bagi umat ini di sepanjang zaman, dan telah membuatkan dasar-dasar manhaj abadi bagi kehidupan manusia yang baru. Manhaj yang seimbang dan sejalan. Manhaj yang memberi kemudahan pada batas-batas kemampuan. Manhaj yang menyerukan keada kemanusiaan yang bermartabat tinggi. Manhaj yang memiliki nilai yang mulia, yang di dalamnya berbagai perbedaan inderawi dan geografis melebur untuk bertemu dalam satu aqidah serta satu sistem yang ideal.

Satu manhaj yang menyamakan antara seluruh manusia serta menjadikan keutamaan di antara mereka dalam ketakwaan:

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian...." [Al-Hujuraat: 13]

Manhaj yang mendorong mereka untuk menghidupkan bulan puasa dalam kesatuan keislaman yang hakiki, yang mengatasi berbagai rintangan dan penyimpangan serta melintasi semua batasan dan kebangsaan. Serta menyatukan mereka dalam kesatuan tujuan, menggiring umat menuju kepada realisasi tujuan yang selalu diharapkan keberadaannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." [Adz-Dzaariyaat: 56]

Dengan pandangan sekilas kepada para Salafush Shalih [2], kita akan mendapati salah satu dari mereka, dengan membawa beberapa surat al-Qur-an sanggup memperbaiki apa yang telah dirusak oleh bangsa Persia dan Romawi. Dan sanggup membuka hati (penduduk negeri) sebelum membebaskan negerinya.

Benar, inilah kewajiban orang-orang mukmin yang membaca al-Qur-an dengan sebenar-benarnya sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala

Demi Allah, seandainya hati kaum muslimin itu telah bersih dari segala macam penyakit serta menjernihkan hal-hal yang membuatnya keruh, niscaya mereka akan mengetahui nilai dan kewajiban mereka terhadap al-Qur-an, satu-satunya penyelamat sekaligus satu-satunya pelindung dari segala macam pemikiran yang merusak yang akan menghantam kejahatannya di zaman sekarang ini. Dan akal dari kebanyakan manusia yang menyimpang karena kekosongannya dari wahyu Allah Ta'ala yang membentengi dan melindunginya dari mereka, maka Dia wahyukan di dalamnya petunjuk yang mencukupi, memadai, menyelamatkan, sekaligus melindungi dari segala macam godaan syaitan manusia yang merusak akal dan gangguan jin yang menyerang fitrah.

Di dalamnya juga terkandung penjelasan yang sangat jelas mengenai petunjuk dan pembeda, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil. Oleh karena itu, Allah Ta'ala memperjelas hikmah dalam pengkhususan bulan Ramadhan dengan syari'at puasa melalui firman-Nya:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)...." [Al-Baqarah: 185]

Bacaan dan kajian terhadap al-Qur-an memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa untuk melakukan perbaikan dan penyucian, yang berkonsekuensi pada penerimaan seorang hamba dan pendekatannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, orang-orang shalih sepanjang perjalanan zaman selalu memperbanyak bacaan al-Qur-an pada bulan Ramadhan dan menyambutnya dengan sepenuh hati. [3]

Al-Qur-an adalah kitab umat Islam yang abadi, yang menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju sinar yang terang benderang. Lalu menumbuhkan keadaan ini serta menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman. Dia memberikan tempat bagi mereka di muka bumi ini, serta dia memberikan sendi-sendinya yang dengan itu mereka menjadi umat yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan. Di mana tanpa sendi-sendi tersebut, umat Islam tidak akan menjadi umat yang baik dan tidak akan mendapatkan tempat di muka bumi ini serta tidak juga disebut di langit. Maka wujud dari rasa syukur kepada Allah Ta'ala atas nikmat al-Qur-an ini adalah minimal dengan memenuhi seruan Allah un-tuk berpuasa pada bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an.

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Manhaj berarti jalan yang jelas dan mudah sebagaimana yang terdapat dalam Tafsiir Ibni Katsir tentang perkataan Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..." [Al-Maa-idah: 48). Lihat Tafsiir Ibni Katsir (II/75-76), cet. Maktabah Darus Salam, th. 1413 H.-red.
[2]. Para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.-red.
[3]. Ash-Shaum (hal. 73), karya ad-Dausari.

Kesungguhan Rasulullah Pada Bulan Ramadhan postheadericon

RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN : KESUNGGUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN RAMADHAN TIDAK SEPERTI KESUNGGUHAN BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN-BULAN LAINNYA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)..." [Al-Baqarah: 185]

Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.

Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa." [Al-Baqarah: 2]

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." [Al-Maa-idah: 15-16]

Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:

1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-'Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.

Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta'ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.

Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.

Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.

Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.

Pembahasan 3
KESUNGGUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN RAMADHAN TIDAK SEPERTI KESUNGGUHAN BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN-BULAN LAINNYA

Jika waktu atau tempat itu mulia maka akan mulia juga amal shalih yang dilakukan pada keduanya. Ketaatan di Makkah misalnya, lebih utama daripada di tempat lainnya. Amal kebajikan pada hari Jum'at lebih baik daripada hari lainnya. Yang termasuk seperti hal itu adalah bulan Ramadhan, karena keutamaannya, maka semua perbuatan baik yang dilakukan di dalamnya menjadi utama pula, misalnya shadaqah, qiyamul lail, membaca al-Qur-an, i’tikaf, dan umrah. Semua amal perbuatan di bulan Ramadhan tersebut lebih baik daripada dikerjakan di bulan-bulan lainnya.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayat-kan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebaikan, dan yang paling dermawan adalah apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan pada bulan Ramadhan ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dijumpai oleh Jibril. Dan Jibril Alaihissalam menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai bulan itu berakhir. Kepadanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan. Oleh karena itu, jika Jibril Alaihissalam menemui beliau, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan dengan angin yang diutus..." [1]

Pada bulan Ramadhan, jiwa menjadi terangkat dari kesalahan dan kehinaan serta selamat dari ketertarikan pada materi dan keinginan naluri menuju kepada kejernihan yang membersihkan hati seseorang dengan bershadaqah, berderma, dan memberi.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia lagi paling dermawan, di mana jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi sesuatu maka beliau tidak pernah takut susah dan tidak juga takut miskin. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan limpahan kedermawanan, sehingga beliau adalah orang yang paling murah dengan perbuatan baik daripada angin yang dikirim, yang berhembus dengan kealamiahannya, dia giring awan di setiap lembah, serta dia tebarkan kesejukan pada setiap tempat.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha dengan sungguh-sungguh pada bulan Ramadhan, lebih gigih daripada bulan-bulan lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat, bacaan al-Qur-an, dzikir, dan shadaqah. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkonsentrasi penuh pada bulan ini dan melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang pada hakikatnya merupakan ibadah, tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan amal yang utama untuk mengerjakan apa yang lebih utama darinya.

Dan para Salafush Shalih selalu mengikuti Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal itu, di mana mereka mengkhususkan bulan ini dengan meningkatkan perhatian serta berkonsentrasi penuh pada amal-amal shalih. Oleh karena itu, kita harus mengikuti mereka serta menempuh jalan mereka, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menggiring kita dalam rombongan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ma'shum dan golongan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang baik lagi suci:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, 'Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami...'" [Al-Hasyr: 10]

Di antara hal paling utama yang harus dikerjakan oleh orang yang berpuasa pada siang harinya adalah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Itulah amal-amal shalih yang manfaatnya tidak akan pernah berakhir dan pahalanya pun akan terus mengalir.

Oleh karena itu, jika orang yang berpuasa telah memanfaatkan waktu siangnya untuk berpuasa dan membaca al-Qur-an, dan memanfaatkan waktu malamnya untuk qiyamul lail dengan bersujud dan ruku', serta menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, maka akan terwujud kebaikan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka inginkan. (Dikatakan kepada mereka:) 'Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.'" [Al-Mursalaat: 41-44]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "...Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan adalah memperbanyak berbagai macam ibadah... Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling tampak adalah pada bulan Ramadhan. Hal itu tampak di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak bershadaqah, berbuat baik, membaca al-Qur-an, shalat, dzikir, dan i'tikaf. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pada bulan Ramadhan ini ibadah-ibadah yang tidak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam khususkan pada bulan-bulan lainnya. Sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang menyambung waktu malam dan siangnya untuk beribadah...." [2]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (VII/ 73))
[2]. Zaadul Ma’aad (II/32).

Kisah Seguci Emas postheadericon

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا

Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya:
“Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”

Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”

Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.

Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.

Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.

Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.

Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”

Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.

Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.

Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.

Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.

Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.

Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.

Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.
Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.

Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.

Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?

Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.

Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.

Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”

Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.

Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.

Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?

Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”

Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.

Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.

Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?

Wallahul Muwaffiq.

Berdemokrasi, Berkolaborasi Meruntuhkan Islam postheadericon

Sistem kepartaian lahir sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi yang bergulir. Demokrasi adalah sebuah paham yang lahir dari pemikiran filsafat Yunani. Dengan tiga pilar inti: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality (persamaan), paham demokrasi dijajakan secara paksa ke negeri-negeri kaum muslimin.

Negara yang paling getol memompakan paham ini adalah Amerika Serikat (AS). Melalui beragam cara, negeri Paman Sam ini terus melakukan neo-kolonialisme (penjajahan gaya baru) dengan meracuni negeri-negeri kaum muslimin dengan paham Yunani satu ini. Meski senyatanya, di negeri AS sendiri, paham demokrasi ini tidak begitu keras nilai jualnya. Terbukti, setiap kali diadakan pemilihan umum, hanya kalangan tertentu saja yang berpartisipasi dalam pemilu.

Banyak warga AS yang tidak memedulikan pesta demokrasi di sana. Banyak warga negaranya yang golput. Sebuah ironi yang sangat kontras dari sebuah negara kolonialis AS yang mempropagandakan demokratisme, namun di negaranya sendiri tak diminati warganya. Rakyat AS yang menggunakan hak pilih dalam enam pemilu terakhir, ternyata tak mencapai jumlah 60%. Tahun 1988 hanya 50,1%, 1992: 55,1%, 1996: 49,1%, 2000: 51,3%, 2004: 55,3%, dan tahun 2008: 56,8%. Dari angka-angka yang dikeluarkan Federal Election Commision (semacam lembaga Komisi Pemilihan Umum [KPU] di Indonesia), nyata bahwa nyaris separuh penduduk AS yang punya hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.

Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Dengan jargon ini, sistem demokrasi mengeksplorasi rakyat untuk terlibat aktif. Kemenangan peserta pemilu ditentukan dari perolehan suara terbanyak. Tak memedulikan apakah peserta pemilu yang menang tersebut memiliki kualitas yang handal atau tidak untuk mengurusi negara. Tak peduli pula, apakah yang dipilih tersebut bisa dipertanggungjawabkan moralitasnya atau tidak. Selama pemenang pemilu tersebut meraup suara yang mumpuni, maka berhak untuk mengelola negara. Rakyatlah yang menentukan seseorang mendapatkan kursi atau tidak.

Padahal, dari berbagai strata (lapisan) masyarakat, tak seluruhnya (bahkan sebagian besar) tidak memahami benar kualitas dan moralitas calon yang dipilihnya. Karenanya, tak mengherankan bila kemudian terjadi politik “bagi-bagi uang” guna memenangkan calon peserta pemilu. Rakyat didekati, agar mau memberikan suaranya untuk sang calon. Janji-janji disebar, guna memikat rakyat. Sebuah fenomena menebar ambisi mereguk jabatan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu untuk tidak meminta-minta kedudukan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 7146) dan Al-Imam Muslim (no. 1652), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sungguh, jika engkau diberi kedudukan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (Allah Subhanahu wa Ta’ala) atas kedudukan (yang ada padamu). Sedangkan jika kedudukan tersebut diperoleh dari hasil meminta, engkau bakal dibebani kedudukan tersebut (tidak ditolong Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

Sistem demokrasi telah membuka peluang antar elit politik dan antar konstituen (pendukung) partai saling berbenturan. Masing-masing memiliki kepentingan dan fanatisme kepartaian yang membabi buta. Karena itu, seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi brutal vandalis (merusak), penganiayaan fisik, dan pembunuhan rival politik. Konflik di tingkat elit diikuti pula dengan konflik di di level bawah. Sebut saja kasus kegagalan Megawati terpilih menjadi presiden, telah menimbulkan aksi kekerasan di tingkat lokal. Pembakaran Gedung Walikota Surakarta merupakan imbas pertarungan elit politik di ibukota negara. Demikian pula yang terjadi di Surabaya, Pasuruan, atau wilayah tapal kuda Jawa Timur. Pembakaran kantor Golkar, aksi penebangan pohon, dan perusakan sarana milik masyarakat merupakan dampak pertikaian antar elit politik di level atas. Para elit politik berebut kedudukan, mengumbar ambisi untuk meraih posisi utama kekuasaan.

Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan tentang ambisi liar untuk merebut kekuasaan. Kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sungguh kalian akan berambisi untuk meraih kepemimpinan dan kelak kalian akan menyesal di hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 7148)

Kehidupan berpartai telah mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah. Padahal ukhuwah (persaudaraan) sesama muslimin merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kelompok-kelompok yang saling bertikai dan berperang di kalangan kaum muslimin untuk melakukan langkah-langkah perdamaian. Hingga ukhuwah di antara mereka yang baku tikai bisa terajut kembali. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakwa agar memperoleh rahmat. Firman-Nya:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ الهَْ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencurahkan rahmat kepada orang-orang beriman manakala mereka menjaga ukhuwah, saling menolong dalam kemaslahatan. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada orang-orang beriman agar tetap menjaga ukhuwah. Firman-Nya:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Lantas, apa yang mereka peroleh setelah sistem yang dijejalkan orang-orang kafir ini ditelan mentah-mentah oleh sebagian kaum muslimin? Tak lain kecuali merobek jalinan persaudaraan sesama muslim. Hubungan keluarga menjadi tidak harmonis lantaran satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya berbeda atribut partai. Hubungan tetangga menjadi tidak nyaman lantaran satu dengan yang lain berbeda partai. Begitulah buah yang bisa dipetik dari sebuah sistem bernama demokrasi.

Bagi sebagian masyarakat yang benar-benar mencermati proses demokratisasi di negeri ini, sebagian dari mereka cenderung untuk tidak terlibat sebagai partisipan alias golput. Sikap apatis, acuh tak acuh terhadap pelaksanaan pemilu lebih disebabkan melihat hasil proses demokratisasi itu sendiri. Yang senyatanya, jika berbicara jujur, bahwa demokratisasi tidaklah akan memberi kebaikan kepada masyarakat. Rakyat hanya dijadikan kuda tunggangan agar elit politik bisa merebut kursi, setelah itu rakyat dilupakan dan mereka sibuk membesarkan partai serta keadaan dirinya. Demokrasi telah turut andil menanamkan sikap sinis rakyat terhadap elit politik mereka. Maka, persepsi bahwa politik itu kotor, menyeruak kembali di benak masyarakat. Berpolitik tidak lebih dari sekadar perebutan kekuasaan dengan memperalat rakyat.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, salah seorang ulama Yaman, mengungkapkan bahwa pemilu termasuk aktivitas menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan tersebut dikategorikan dalam syirku ath-tha’ah (syirik ketaatan). Ini dilihat dari sisi bahwa pemilu merupakan bagian dari sistem aturan (an-nizham) demokrasi. Sedangkan demokrasi adalah sebuah sistem aturan yang berasal dari musuh-musuh Islam agar kaum muslimin berpaling dari keyakinan agamanya.

Barangsiapa ridha dengan sistem aturan tersebut, turut menyebarluaskannya dan meyakini kebenarannya, maka sungguh dia telah menaati musuh-musuh Islam dalam upaya menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini benar-benar kesyirikan dalam ketaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedangkan siksaan menimpa mereka.” (Asy-Syura: 21-22)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’.” (Muhammad: 26)

Firman-Nya pula:

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121) [Tanwiru Azh-Zhulumati bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabat, hal. 39]

Sungguh naif sekali bila ada yang berpandangan bahwa sistem demokrasi bisa menjadi wasilah (sarana) bagi tegaknya syariat Islam. Bagaimana mungkin seseorang menegakkan syariat Islam, sementara jalan yang ia tempuh untuk menegakkan syariat Islam itu sendiri bertentangan dengan syariat. Justru saat dirinya menempuh jalan tersebut (demokrasi) senyatanya dia tengah meruntuhkan nilai-nilai syariat Islam. Sadar atau tidak, dirinya tengah berkolaborasi (bekerja sama) dengan musuh-musuh Islam. Karena tujuan hendak meraup suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu, banyak aktivis partai yang terjatuh pada kesyirikan dan kemungkaran.

Pernyataan Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, yang menganggap angka delapan sebagai angka hoki (keberuntungan), telah memicu pro-kontra di kalangan anggota partai. Di Semarang, PKS menggelar aksi pada tanggal 8 bulan 8 (Agustus) tahun 08 (2008), sehingga muncul angka “keramat” 8-8-8. Tak sampai di situ, di Bundaran Air Mancur, Semarang dihadirkan 8 orang Srikandi PKS yang melepas 8 merpati sebagai simbol bahwa PKS merupakan partai cinta damai dan memperjuangkan kesejahteraan. Disertai pula acara melepas 88 balon bertulis angka 8. Di Aceh digelar acara “beulukat kuneng 8” yang dilakukan pada tanggal 8 bulan 8 yang lalu. Allahul Musta’an.

Ironis memang. Partai yang katanya berplatform (berlandaskan) Islam ini, justru mengaitkan pertambahan perolehan suara dengan nomor partai. Tahun 1999, semasa bernama Partai Keadilan (PK) bernomor 24, setelah bernomor 16 (2004), PKS meraih suara lebih banyak. Kini dengan nomor urut 8 bakal bisa lebih banyak lagi. Perubahan 24, 16, 8 juga merupakan selisih 8.

Dalam terminologi agama, ada istilah yang disebut tathayyur yaitu (anggapan) kesialan. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam, bahwa kesesatan orang-orang seperti ini telah sampai pada taraf yang membahayakan. Sebagian orang menentukan kesialan lantaran waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, seperti angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung. Ketahuilah bahwa tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلاَ إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tiadalah salah seorang dari kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud no. 3910. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menshahihkannya)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa tathayyur menafikan tauhid karena menghilangkan sikap tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyandarkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tathayyur menjadikan seseorang menggantungkan urusan pada sesuatu yang bukan hakikatnya, tapi pada waham (keyakinan yang keliru) dan khayal. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/559)

Sedangkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa tathayyur merupakan adat jahiliah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan (terkait tathayyur ini) tentang umat-umat yang kafir dari kalangan kaum Fir’aun, Tsamud, dan ashabu Yasin (penduduk sebuah kampung seperti disebutkan dalam surat yasin ayat 13-16). (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, 2/3)

Maka, siapapun dia dan dari golongan manapun, ketika dakwah tauhid diremehkan niscaya akan menyeret ke lumpur kesyirikan. Mereka yang menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan dakwah tauhid dilalaikan, kelak akan menjadikan mereka, terjerembab jatuh menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demokrasi adalah sebuah sistem. Ketika seseorang masuk dalam sistem, maka pola perilakunya akan menyesuaikan dengan perilaku yang berlaku dalam sistem tersebut. Sungguh, tidak mengherankan bila perilaku, cara pandang dan pemikiran politisi di negeri ini berkiblat kepada nilai-nilai yang menjunjung demokratisasi.

Dalam ranah agama, cara berpikir demokratis bisa melahirkan sikap beragama yang pluralis liberalis. Seseorang akan didorong untuk bersikap toleran dan membenarkan ajaran-ajaran yang mengusung kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ujung dari semua ini, bahwa semua agama itu benar. Maka, janganlah menganggap diri paling benar dalam mengamalkan agama.

Contoh kasus Ahmadiyah dan ajaran sesat lainnya. Meski sebagian pemimpin mereka telah dijatuhi sanksi hukum, akan tetapi delik yang diajukan kepada mereka bukan karena kesesatan ajaran agama mereka. Ini menunjukkan bahwa hukum yang ada di negeri ini memberi ruang legalitas bagi ide-ide pemahaman beragama yang liberal pada mereka. Tentunya didasari pemikiran bahwa negeri ini adalah negeri yang demokratis hingga semua pemahaman agama boleh hidup. Itulah muara akhir dari sistem demokrasi –yang salah satu sendinya adalah liberty (kebebasan)– yang tengah dijejalkan ke negeri-negeri kaum muslimin.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.

Wallahu a’lam.

Adab-Adab Yang Bersifat Wajib postheadericon

ADAB-ADAB PUASA : ADAB-ADAB YANG BERSIFAT WAJIB

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga olehnya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.

Pembahasan 1
ADAB-ADAB YANG BERSIFAT WAJIB

1. Orang yang berpuasa harus menghindari kedustaan, karena hal itu termasuk amal yang haram dilakukan pada setiap saat, dan pada waktu puasa itu jelas lebih diharamkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"... Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta, karena dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu menggiring ke Neraka. Dan seseorang itu masih akan terus berdusta dan terus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." [1]

2. Hendaklah orang yang sedang berpuasa menghindari ghibah. Yakni seorang muslim menyebutkan apa-apa yang tidak disukai dari saudaranya ketika saudaranya itu sedang tidak bersamanya, baik yang disebutkannya itu apa yang tidak disukai dari penampilan atau akhlaknya, maupun yang disebutkannya itu memang benar adanya maupun tidak.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya..." [Al-Hujuraat: 12]

Pembaca yang budiman, adakah gambaran yang lebih buruk dari gambaran ini, di mana seseorang memakan daging orang yang sudah menjadi mayat? Sesungguhnya yang buta bukanlah mata tetapi hati yang ada di dalam dada. Dan ghibah itu haram dilakukan kapan pun, dan bagi orang yang sedang berpuasa, ghibah lebih diharamkan sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu.

3. Hendaklah orang yang sedang berpuasa juga menghindari namimah atau mengadu domba. Yakni tindakan seorang muslim menyampaikan ungkapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merusak hubungan antara keduanya. Perbuatan ini termasuk perbuatan dosa besar, karena ia dapat merusak individu dan juga masyarakat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah." [Al-Qalam: 10-11]

Sedang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Tidak akan masuk Surga orang yang suka mengadu domba." [2]

4. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari tipu muslihat dan kecurangan dalam segala bentuk mu'amalah, baik itu jual beli, sewa-menyewa, maupun produksi, serta dalam semua selebaran dan pemberitaan. Sebab, tipu muslihat itu termasuk perbuatan dosa besar, karena ia merupakan penipuan sekaligus penanaman benih fitnah dan perpecahan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menipu kami berarti dia bukan dari golongan kami." [3]

5. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari kesaksian palsu, karena hal itu termasuk perbuatan yang bertentangan dengan puasa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki kepentingan pada tindakannya meninggalkan makanan dan minumannya." [4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/30) dan Shahiih Muslim (VIII/29))
[2]. HR. Al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/21) dan Shahiih Muslim (I/71))
[3]. HR. Muslim (I/69).
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/24))

Adab-Adab Yang Bersifat Sunnah postheadericon

ADAB-ADAB PUASA : ADAB-ADAB YANG BERSIFAT SUNNAH

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga olehnya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.

Pembahasan 2
ADAB-ADAB YANG BERSIFAT SUNNAH

1. Mengakhirkan Sahur
Sahur berarti makan di akhir malam. Disebut sahur karena ia dilakukan pada waktu sahur. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan untuk makan sahur, di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan." [1]

Hendaklah seseorang berniat mengikuti perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sahurnya itu, sekaligus memperkuat puasanya agar sahur yang dilakukannya itu bisa menjadi ibadah. Dan hendaklah dia mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terhadap terbit fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan hal ter-sebut.

Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: "Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau berangkat menunaikan shalat, maka kami tanyakan, 'Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?' Beliau menjawab, 'Sekitar (waktu yang cukup untuk membaca) lima puluh ayat..." [2]

2. Menyegerakan Berbuka Puasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk menyegerakan berbuka jika matahari sudah benar-benar terbenam, dengan melihatnya langsung atau dengan memperkirakan hal tersebut, atau dengan terdengarnya adzan, karena adzan merupakan berita yang paling dapat dipercaya.

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka dengan kurma ruthab (kurma basah), jika tidak maka boleh dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada juga, maka hendaklah dengan meneguk air. Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa." [3]

Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memanjatkan do'a pada saat akan berbuka dengan do'a-do'a yang mudah diucapkannya, karena pada saat itu merupakan waktu dikabul-kannya do'a. Oleh karena itu, seorang muslim harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dari waktu-waktu ketaatan.

3. Menjaga Lisan dari Kata-Kata yang Tidak Bermanfaat
Orang yang berpuasa harus menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, karena lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa. Orang-orang mukmin sebenarnya adalah yang selalu menghindari pembicaraan yang tidak berarti dan senantiasa menghiasi diri dengan adab-adab Islam dalam ucapan mereka.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. " [Al-Mu'-minuun: 3]

Selain itu, Dia juga berfirman:

"Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir." [Qaaf: 18]

Orang yang berpuasa harus mempuasakan (menahan) juga anggota tubuhnya dari segala macam perbuatan dosa, lisannya dari dusta, kata-kata keji, dan sumpah palsu, serta kata-kata yang tidak berarti. Juga mempuasakan perutnya dari makanan dan minuman, dan kemaluannya dari perbuatan keji. Kalau memang dia harus berbicara, maka dia akan berbicara dengan kata-kata yang tidak akan merusak puasanya. Jika dia berbuat maka dia akan berbuat hal-hal yang tidak akan merusak puasanya, sehing-ga yang keluar darinya adalah ucapan yang baik dan amal perbuatan yang shalih.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim yang berpuasa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan baik serta menjauhkan diri dari kata-kata dan perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal yang buruk tersebut di atas pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekan-kan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

"Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika datang hari puasa, maka janganlah salah seorang di antara kalian melakukan rafats (berbicara kotor atau hubungan badan/jima') dan tidak juga membuat kegaduhan. Dan jika ada orang yang mencaci atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.'" [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah mengatakan,"....Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahwa kata mufa'alah menuntut adanya perbuatan dari dua belah pihak. Orang yang berpuasa tidak akan muncul darinya perbuatan yang dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan yang dimaksud dengan mufa'alah adalah kesiapan untuk menanggapinya. Artinya, jika seseorang siap untuk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.' Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya untuk menahan diri darinya (pertikaian) .....Apakah boleh dikatakan dengan ucapan: 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa,' kepada orang yang menyerangnya atau dengan mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, 'Menyatukan keduanya adalah lebih baik.'" [5]

4. Ghadhdhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
Orang yang berpuasa haruslah menundukkan pandangannya dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Ta'ala. Karena sebagaimana anggota tubuh lainnya, mata juga mempunyai hak puasa, dan puasa mata adalah dengan menundukkannya dari hal-hal yang haram.

Allah Ta'ala berfirman:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka." [An-Nuur: 30-31]

Bulan puasa merupakan lembaga pendidikan yang paling baik bagi orang-orang yang diuji dengan berbagai keinginan syahwat dan ketamakan terhadap pujian manusia. Dia akan menghindari semua itu jika dia memahami hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala serta mencermati hikmah-Nya serta kegigihannya untuk memperbaiki puasanya dan menggapai pahalanya. Pada bulan tersebut, dia akan melatih diri untuk menundukkan pandangan serta menahan anggota tubuhnya dari hal-hal yang buruk dan menyibukkan hati dengan memikirkan ayat-ayat Allah sekaligus mengingat nikmat-nikmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya, seraya mengintrospeksi diri dalam mensyukurinya dengan mengalokasikannya sebaik-baiknya.

Adapun orang-orang yang suka melakukan perbuatan sia-sia yang melepaskan pandangan mereka pada hal-hal yang haram serta tidak menjaga kesucian bulan tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk diri mereka, kecuali kerugian dan penyesalan di dunia serta mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.

Benarlah ungkapan seorang penyair [6], di mana dia mengungkapkan:

"Kapan saja engkau melepaskan pandangan ke semua mata,
maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan.
Engkau akan mendapatkan yang semuanya engkau tidak mampu
menahannya dan tidak juga dari sebagiannya engkau mampu bersabar."

Di antara Adab Sunnah yang Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa:

1. Memperbanyak bacaan al-Qur-an, berdzikir, berdo'a, shalat, serta shadaqah.
2. Mengingat semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala kepadanya, di mana Dia telah memperkenankan para hamba-Nya untuk menjalankan ibadah puasa serta memberikan kemudahan dalam menunaikannya. Berapa banyak orang yang berangan-angan agar bisa menjalankan puasa, tetapi tidak mudah baginya untuk menjalankannya.
3. Menjaga semua anggota tubuh dari segala hal yang buruk, di mana seorang yang sedang berpuasa tidak akan mengerjakan apa yang dapat menodai puasanya. Anggota tubuh yang diperintahkan untuk selalu dijaga adalah lisan, mata, telinga, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Oleh karena itu, jika seorang muslim telah menjaga anggota tubuhnya dari segala macam bentuk dosa, maka puasanya akan sempurna dan pahalanya pun akan dilipatgandakan.
4. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memberikan makanan dan minuman untuk berbuka kepada seseorang atau lebih yang telah berpuasa meski hanya dengan satu buah tamr (kurma kering) atau seteguk air. Yang demikian itu merupakan shadaqah yang paling utama pada bulan Ramadhan.
5. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai siwak. Tidak ada perbedaan waktu antara awal siang dan di akhir siang -berdasarkan apa yang kami tarjih- karena siwak itu dapat membersihkan mulut sekaligus mendapatkan keridhaan Allah.

Demikianlah sebagian dari adab puasa yang bersifat wajib dan sunnah yang harus dipegang dan dijadikan hiasan oleh orang yang berpuasa agar dia bisa benar-benar beruntung, pada hari di mana sebagian orang beruntung dan sebagian lainnya menga-lami kerugian.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang berpuasa itu terdiri dari dua tingkatan:

Pertama: Orang yang meninggalkan makan dan minum serta nafsu syahwatnya karena Allah Ta'ala dengan mengharapkan Surga sebagai gantinya dari sisi-Nya. Demikianlah perniagaan dan mu'amalah dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, di mana Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang paling baik amal perbuatannya. Tidak akan merugi orang yang bermu'amalah dengan-Nya, tetapi justru dia akan mendapatkan keuntungan yang besar....

Kedua: Di antara orang yang berpuasa itu terdapat orang yang berpuasa di dunia dari segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana dia menjaga kepala dan semua yang ada padanya, perut dan semua yang dikandungnya, mengingat kematian, dan menghendaki akhirat maka dengan begitu dia meninggalkan perhiasan dunia. Inilah 'Idul Fithrinya, hari pertemuan dengan Rabb-nya, dan kegembiraannya dengan melihat-Nya." [7]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/76) dan Shahiih Muslim (III/130))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/26) dan Shahiih Muslim (III/131))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/33) dan Shahiih Muslim (III/131))
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (no. 1151 (163)).
[5]. Fat-hul Baari (IV/105).
[6]. Lihat Badaa-i'ul Fawaa-id (II/271), Ibnul Qayyim.
[7]. Lihat kitab Fii Aadaabish Shaum li Thaa-ifil Ma'aarif, karya Ibnu Rajab (hal. 185), al-Muhallaa (VI/541), al-Hidaayah (I/129), I'laa-us Sunan (IX/146), asy-Syarhush Shaghiir (II/228), Majmuu' Fataawaa (VI/359), al-Mughni (IV/432), Fat-hul Baari (IV/137) dan Nailul Authaar (IV/207).

Lailatul Qadar, I'tikaf Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan postheadericon

SYI'AR-SYI'AR TA'ABBUDIYYAH PADA BULAN RAMADHAN DAN PENGARUHNYA : LAILATUL QADAR, I'TIKAF PADA SEPULUH HARI TERAKHIR DARI BULAN RAMADHAN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pendahuluan
Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ...." [Al-Fat-h: 4]

Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi'ar yang ada padanya merupakan syi'ar ta'abbudiyyah yang disyari'atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, "Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya."

Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, "....Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do'a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an..."

Pembahasan 2
LAILATUL QADAR

Malam ini termasuk salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat Muhammad, yaitu malam kemuliaan dan penghormatan bagi umat yang agung lagi terpuji ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyinggung tentang keutamaan umat ini dalam Kitab-Nya yang memberi penjelasan yang nyata, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus Rasul-Rasul. " [Ad-Dukhaan: 3-5]

Dia Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 1-5]

Disebut lailatul qadar karena ia merupakan malam yang mulia lagi agung, yang padanya Allah menetapkan apa yang terjadi dalam satu tahun mengenai masalah-masalah yang bijak.

Para ulama menyebutkan beberapa keutamaan lailatul qadar, di antaranya adalah:
1. Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan al-Qur-an pada malam itu.
2. Malam itu lebih baik dari seribu bulan.
3. Turunnya para Malaikat pada malam itu.
4. Banyaknya keselamatan pada malam itu dari adzab "Malam penuh keselamatan".
5. Mengenai keutamaannya, Allah Ta'ala menurunkan satu surat penuh yang dibaca hingga hari Kiamat.

Sudah pasti malam itu berlangsung pada bulan Ramadhan, pada sepuluh malam terakhir dari bulan tersebut, yakni pada hari-hari ganjil. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, di mana dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan..." [1]

Juga apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Carilah lailatul qadar pada tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan)." [2]

Disunnahkan padanya untuk melakukan qiyamul lail, banyak memanjatkan do'a, istighfar, dan shadaqah, karena lailatul qadar merupakan waktu yang sangat agung.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mengerjakan qiyam (shalat Tahajjud) pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diberikan ampunan atas dosanya yang telah lalu." [3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyembunyikan ilmu tentangnya (waktu munculnya lailatul qadar) dari hamba-hamba-Nya sebagai rahmat bagi mereka untuk memperbanyak amalan mereka dan mencarinya pada malam-malam yang penuh kemuliaan itu dengan shalat, dzikir dan do'a. Sehingga dengan demikian, mereka akan bertambah dekat kepada Allah dan semakin banyak pula pahala yang didapat dari-Nya. Selain itu, Allah menyembunyikan pengetahuan tentang malam itu sebagai upaya untuk menguji mereka, sehingga dapat diketahui siapa yang bersungguh-sungguh dan gigih dalam mencarinya dan siapa pula yang malas lagi mengabaikannya. Sebab, orang yang ingin mendapatkan sesuatu maka dia akan bersungguh-sungguh dalam memperolehnya dan segala sesuatu terasa sangat ringan dalam merealisasikannya. Tetapi terkadang, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memperlihatkan malam itu kepada sebagian hamba-Nya dengan beberapa tanda yang dapat mereka ketahui, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersujud pada pagi harinya di air dan tanah liat. [4]

Pembahasan 3
I'TIKAF PADA SEPULUH HARI TERAKHIR DARI BULAN RAMADHAN

Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan memiliki berbagai keutamaan besar dan keistimewaan yang sangat banyak, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sepuluh hari itu menggiatkan ketaatan, suatu hal yang tidak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan pada hari-hari lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengencangkan ikatan kainnya untuk membangunkan keluarganya dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada hari-hari tersebut.

Hal itu telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih giat (dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir ini yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya." [5]

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir, maka beliau mengencangkan ikatan kainnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya...." [6]

Hadits lainnya yang juga diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau (tetap) beri'tikaf sepeninggal beliau..." [7]

I'tikaf berarti tetap tinggal di dalam masjid untuk berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

" .... Dan janganlah kalian campuri mereka, sedang kalian beri'tikaf di dalam masjid...." [Al-Baqarah: 187]

Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah serta melepaskan diri dari kesibukan hidup. Oleh karena itu, disunnahkan bagi orang yang beri'tikaf untuk menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah, membaca al-Qur-an, shalat, serta mendalami ilmu. Tidak ada masalah dengan kunjungan keluarganya dan memperbincangkan hal-hal yang mengandung berbagai kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Diharamkan bagi orang yang beri'tikaf untuk melakukan hubungan badan dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik itu berupa ciuman, ataupun sentuhan dengan syahwat. Hal itu sesuai dengan ayat di atas. Tidak dibolehkan pula baginya untuk keluar dari masjid, kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak sekali, seperti wudhu', mandi, makan dan minum. Jika di dalam masjid terdapat tempat wudhu' dan mandi serta ada orang yang mengantarkan kepadanya makanan dan minuman, maka tidak dibolehkan baginya keluar dari masjid.

Tidak boleh keluar masjid untuk melakukan suatu ibadah yang tidak wajib baginya, misalnya mengantar jenazah, menjenguk orang sakit, dan lain-lain, kecuali jika hal itu memang dia syaratkan sebelum i'tikaf.

Adapun keluar masjid untuk keperluan selain itu, seperti jual beli dan duduk-duduk bersama keluarga adalah diharamkan (dapat membatalkan i'tikaf), baik hal itu disyaratkan maupun tidak.

Dibolehkan bagi orang yang beri'tikaf untuk mendirikan kemah (tempat khusus) di dalam masjid, jika di dalam masjid itu tidak terdapat bilik khusus. Sebagaimana dibolehkan baginya membawa tempat tidur dan pakaian serta berbagai hal yang dia butuhkan. Sebagaimana dia juga boleh beri'tikaf bersama keluarganya di dalam masjid. Bahkan, dibolehkan bagi seorang wanita untuk beri'tikaf seorang diri dengan syarat aman dari fitnah dan mengandung maslahat yang banyak. Namun, saya kira hal itu belum bisa terwujud pada zaman sekarang ini, kecuali yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, dan setelah itu isteri-isteri beliau pun beri'tikaf sepeninggal beliau...." [8]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "... Kebaikan dan keteguhan hati tertambat pada jalan menuju agama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bergantung kepada penyatuan kepada ajaran Allah serta pengarahannya secara keseluruhan kepada-Nya.... Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, menceburkan diri dalam dosa, serta ucapan yang sia-sia termasuk dari hal-hal yang dapat memotong perjalanannya menuju agama Allah serta melemahkannya, atau bahkan menghentikannya. Maka rahmat Allah Yang Mahamulia lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat menghilangkan pengaruh buruk dari makanan dan minuman.... Dan disyari'atkan bagi mereka i'tikaf yang maksudnya adalah untuk mengkonsentrasikan hati serta memisahkan diri dari manusia...." [9]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/41) dan Shahiih Muslim (III/170))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/41) dan Shahiih Muslim (III/170))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/40))
[4]. Majaalisu Syahri Ramadhaan (hal. 107). Dan ada beberapa orang peneliti yang telah melakukan kajian secara detail, di mana mereka menyebutkan lebih dari enam puluh pendapat mengenai malam lailatul qadar ini. Sebagian pendapat saat ditahqiq (diteliti), kembali lagi kepada sebagian lainnya. Tetapi yang rajih, wallaahu a'lam, adalah apa yang telah kami sebutkan di atas. Sebagai tambahan pengetahuan, lihat al-Haawii lil Fataawaa, karya as-Suyuthi (I/333). Dia mengungkapkan: "Mengenai lailatul qadar itu banyak pendapat yang telah saya hitung, terdapat kurang lebih lima puluh pendapat,"Wahai saudaraku, shalatlah.". Lihat kitab Suthuu'ul Badr bi Fadhaa-ili Lailatil Qadar karya Ibrahim al-Hazimi (hal. 69 dan setelahnya).
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VIII/70))
[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/ 41) dan Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VIII/70))
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/42))
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/42))
[9]. Zaadul Ma'aad (II/86-87).